Macam-macam Aliran Hukum (Aliran Hukum Alam)
Ilustrasi |
1. Positivisme Hukum
Positivisme
Hukum adalah aliran
atau teori dalam filsafat hukum yang menekankan bahwa hukum adalah sekumpulan
aturan yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, tanpa memperhatikan
moralitas atau keadilan yang terkandung dalam aturan tersebut. Menurut teori
ini, hukum hanya berlaku jika ia diatur atau ditetapkan oleh otoritas yang sah
(seperti negara atau pemerintah) dan diterima oleh masyarakat sebagai hukum
yang wajib dipatuhi.
Ciri-Ciri
Positivisme Hukum
- Hukum sebagai Produk Otoritas
Positivisme hukum memandang hukum sebagai aturan yang berasal dari kekuasaan atau otoritas yang sah, bukan dari prinsip moral atau nilai-nilai etika. Hukum adalah hukum karena ia dibuat dan diterima oleh negara, bukan karena ia dianggap "benar" secara moral. - Pemisahan
Hukum dan Moralitas
Salah satu ciri utama dari positivisme hukum adalah pemisahan antara hukum dan moral. Dalam pandangan positivisme, keberlakuan suatu aturan hukum tidak bergantung pada apakah aturan tersebut sesuai dengan norma moral atau tidak. Hukum dapat diterima dan diberlakukan meskipun bertentangan dengan pandangan moral atau etika yang berlaku dalam masyarakat. - Hukum
sebagai Sistem Normatif
Positivisme hukum melihat hukum sebagai sistem normatif yang terdiri dari aturan-aturan yang saling terkait, yang diatur oleh negara dan memiliki sanksi jika dilanggar. Hukum bersifat objektif dan bersumber dari kekuasaan negara, serta dapat diidentifikasi dengan jelas dalam bentuk undang-undang, peraturan, dan keputusan-keputusan hukum. - Kepastian
Hukum
Positivisme hukum sangat menekankan pada kepastian hukum, yaitu hukum yang jelas, tertulis, dan dapat diterapkan secara konsisten. Hal ini dianggap sebagai jaminan agar masyarakat dapat mengetahui dengan pasti aturan-aturan yang berlaku dan konsekuensi dari pelanggaran terhadap aturan tersebut.
Beberapa tokoh yang berpengaruh dalam mengembangkan
positivisme hukum antara lain:
- John
Austin
Austin adalah salah satu tokoh utama dalam positivisme hukum yang memperkenalkan teori hukum sebagai perintah dari otoritas yang sah, yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Menurut Austin, hukum adalah perintah yang dikeluarkan oleh seorang penguasa yang berdaulat dan diikuti oleh perintah kepada pihak yang lebih rendah. - Hans
Kelsen
Kelsen dikenal dengan teori Pure Theory of Law, yang mencoba memurnikan hukum dari pengaruh-pengaruh luar, seperti moralitas atau agama. Ia berpendapat bahwa hukum adalah sistem normatif yang berdiri sendiri dan harus dianalisis secara terpisah dari faktor-faktor lain. Menurut Kelsen, hukum yang sah adalah hukum yang berlaku dalam suatu sistem legal yang diakui.
Utilitarisme adalah teori etika atau filsafat moral yang berfokus pada
pencapaian kebahagiaan atau kesejahteraan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.
Konsep ini berakar pada ide bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang
menghasilkan hasil terbaik atau paling menguntungkan bagi sebanyak mungkin
orang. Dengan kata lain, utilitarisme menilai suatu tindakan berdasarkan sejauh
mana tindakan tersebut dapat meningkatkan kebahagiaan atau mengurangi
penderitaan bagi individu atau masyarakat secara keseluruhan.
Prinsip utama dari utilitarisme adalah prinsip
utilitas atau prinsip kebahagiaan terbesar, yang menyatakan bahwa
tindakan yang benar adalah tindakan yang menghasilkan manfaat terbesar untuk
sebanyak mungkin orang. Keputusan moral atau etika dilihat dari segi dampak
yang ditimbulkan pada kesejahteraan atau kebahagiaan orang banyak.
- Tindakan yang benar adalah tindakan yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.
- Tindakan yang salah adalah tindakan yang
menyebabkan penderitaan atau kerugian bagi jumlah orang terbanyak.
1.
Jeremy
Bentham (1748–1832)
Bentham adalah pendiri aliran utilitarisme klasik. Ia mengembangkan ide bahwa
segala tindakan harus dinilai berdasarkan seberapa besar manfaat yang
ditimbulkan, yang dapat diukur dengan "kebahagiaan" atau
"kesenangan" yang dihasilkan. Menurut Bentham, segala sesuatu
yang mendatangkan kesenangan atau mengurangi penderitaan dianggap sebagai
sesuatu yang baik.
2.
John Stuart Mill (1806–1873)
Mill mengembangkan teori utilitarisme lebih lanjut dan memperkenalkan konsep
bahwa tidak semua kebahagiaan itu sama. Dalam bukunya yang terkenal, "Utilitarianism",
Mill membedakan antara kebahagiaan fisik dan intelektual, dengan menekankan
pentingnya kualitas kebahagiaan selain hanya kuantitasnya. Mill berpendapat
bahwa kebahagiaan intelektual atau moral lebih tinggi daripada kebahagiaan
fisik atau hedonistik.
Mazhab Sejarah adalah aliran atau pendekatan
dalam filsafat hukum yang menekankan pentingnya sejarah, tradisi, dan
perkembangan masyarakat dalam memahami dan menerapkan hukum. Pendekatan ini
berfokus pada pandangan bahwa hukum tidak dapat dipahami atau diterapkan hanya
berdasarkan prinsip-prinsip umum atau teori abstrak, melainkan harus dilihat
dalam konteks historis dan sosial yang melingkupinya. Hukum, menurut mazhab
ini, adalah hasil dari evolusi sosial, kebiasaan, dan tradisi yang berkembang
seiring waktu dalam masyarakat tertentu.
Ciri-ciri
Mazhab Sejarah
- Hukum sebagai Proses Sejarah
Mazhab Sejarah percaya bahwa hukum berkembang melalui proses sejarah yang panjang, mencerminkan perubahan dalam masyarakat dan norma-norma yang berlaku. Oleh karena itu, untuk memahami hukum, kita harus mempelajari bagaimana hukum tersebut berkembang dari waktu ke waktu. - Fokus
pada Kebiasaan dan Tradisi
Dalam pandangan ini, kebiasaan dan tradisi masyarakat dianggap sebagai sumber utama hukum. Hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat bukanlah hal yang dapat dipaksakan atau ditentukan sepenuhnya oleh negara atau pemerintah, tetapi lebih merupakan refleksi dari kebiasaan yang ada dalam masyarakat tersebut. - Hukum
yang Berubah Seiring Waktu
Mazhab ini menekankan bahwa hukum adalah sesuatu yang dinamis dan berubah sesuai dengan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat. Oleh karena itu, hukum tidak dapat dianggap tetap atau baku, tetapi harus beradaptasi dengan kebutuhan dan realitas masyarakat yang terus berkembang.
Tokoh
Utama dalam Mazhab Sejarah
- Friedrich Carl von Savigny
(1779–1861)
Savigny adalah salah satu tokoh utama yang mengembangkan mazhab sejarah dalam hukum. Ia berargumen bahwa hukum bukanlah hasil ciptaan negara atau legislatif, tetapi muncul secara alami dari kebiasaan dan tradisi masyarakat. Menurut Savigny, hukum adalah manifestasi dari roh atau semangat rakyat (Volksgeist) dan harus berkembang sesuai dengan perubahan dalam masyarakat. - Giambattista
Vico (1668–1744)
Vico adalah seorang filsuf Italia yang dianggap sebagai pendahulu bagi mazhab sejarah. Ia berpendapat bahwa hukum dan institusi sosial berkembang secara alami dan harus dipahami dalam konteks sejarah dan budaya tertentu. Vico berargumen bahwa setiap masyarakat memiliki siklus sejarahnya sendiri yang membentuk hukum dan budaya mereka.
Sociological Jurisprudence adalah pendekatan dalam filsafat hukum yang menekankan hubungan antara hukum dan masyarakat, serta pentingnya memahami hukum dalam konteks sosialnya. Pendekatan ini memandang hukum bukan hanya sebagai seperangkat aturan yang statis atau doktrin legal yang murni, tetapi sebagai fenomena yang berkembang dan berinteraksi dengan struktur sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Sociological jurisprudence berfokus pada bagaimana hukum dapat berfungsi untuk mengatur dan mencerminkan dinamika masyarakat, serta dampak hukum terhadap kehidupan sosial dan individu.
Ciri-ciri Sociological Jurisprudence
1.
Hukum sebagai Produk Sosial
Dalam pandangan sociological jurisprudence, hukum tidak dapat dipahami hanya
dari sudut pandang normatif atau teoritis, tetapi harus dilihat sebagai hasil
dari interaksi sosial. Hukum dibentuk oleh masyarakat dan, pada gilirannya,
membentuk kehidupan sosial tersebut.
2.
Pendekatan Empiris dan Praktis
Pendekatan ini lebih mengutamakan studi empiris terhadap bagaimana hukum
diterapkan dalam kehidupan nyata, serta dampaknya terhadap masyarakat. Berbeda
dengan pendekatan deduktif yang lebih mengutamakan teori, sociological
jurisprudence melihat hukum dalam praktik, dan bagaimana ia berfungsi untuk
menyelesaikan masalah sosial.
3.
Fokus pada Fungsi Hukum
Sociological jurisprudence menganggap hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan
sosial yang lebih besar, seperti menciptakan ketertiban, keadilan, dan
kesejahteraan bagi masyarakat. Hukum, dalam pandangan ini, bukan hanya sekadar
seperangkat aturan yang harus ditaati, tetapi juga alat yang digunakan untuk
mengatur hubungan antar individu dan kelompok dalam masyarakat.
ToTokoh Utama dalam Sociological Jurisprudence
1.
Roscoe Pound (1870–1964)
Roscoe Pound adalah tokoh utama yang mengembangkan teori sociological
jurisprudence. Pound berpendapat bahwa hukum seharusnya tidak hanya dilihat
sebagai sistem yang terpisah dari masyarakat, tetapi sebagai alat yang harus
disesuaikan dengan kebutuhan dan dinamika sosial. Ia mengusulkan konsep
"sociological jurisprudence" untuk mengatasi masalah-masalah praktis
yang dihadapi masyarakat, seperti ketidakadilan atau ketidakseimbangan dalam
penerapan hukum.Pound mengembangkan teori
"sosial hukum" yang mengedepankan pemahaman hukum yang lebih
responsif terhadap perubahan sosial. Ia percaya bahwa hukum harus berfungsi
untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan sosial yang ada dalam masyarakat,
serta menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
2.
Émile Durkheim (1858–1917)
Meskipun tidak secara langsung mengembangkan sociological jurisprudence, Émile
Durkheim adalah salah satu sosiolog yang berpengaruh dalam pengembangan teori
ini. Durkheim berfokus pada hubungan antara hukum dan struktur sosial, serta
bagaimana hukum mencerminkan nilai-nilai sosial yang mendasari masyarakat. Ia
berpendapat bahwa hukum berfungsi untuk menjaga integrasi sosial dan stabilitas
dalam masyarakat.
5. 5. Aliran Hukum Bebas, Critical Legal Studies, Feminist Jurisprudence
- Aliran Hukum Bebas menekankan bahwa
hukum tidak hanya merupakan sekumpulan aturan yang ketat atau kaku yang
dihasilkan oleh negara, tetapi hukum harus dipahami sebagai sesuatu yang lebih
fleksibel dan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial
masyarakat. Aliran ini berpendapat bahwa hakim memiliki kebebasan untuk
menyesuaikan keputusan hukum mereka dengan situasi konkret, tanpa terikat pada
doktrin hukum yang sudah ada atau norma yang kaku. Pendekatan ini menekankan kreativitas dan kebebasan hakim dalam menciptakan
keadilan yang lebih sesuai dengan kenyataan sosial.